MENEMUKAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA DAN MELAYU DI KOTA SEMARANG

MENEMUKAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA DAN MELAYU DI KOTA SEMARANG


Oleh : Rizky Dhito Hutomo
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Target khusus yang ingin dicapai adalah terdeskripsikannya nilai-nilai karakter masyarakat dalam interaksi sosial etnis tionghoa dan melayu di kota Semarang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiokultural yang berarti melihat dari sisi budaya masyarakat tersebut. Tujuan utama ini adalah untuk menemukan nilai-nilai budaya serta nilai-nilai karakter lokal dalam interaksi sosial masyarakat etnis tionghoa dan melayu, serta sebagai upaya melestarikan dan menjaga keberlanjutan  masyarakat etnis tionghoa dan melayu di kota Semarang. Selanjutnya diungkap pula beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam menghidupkan kembali nilai-nilai karakter masyarakat etnis tionghoa dan melayu di kota Semarang dalam pembangunan berkelanjutan.
Kata Kunci : Nilai-nilai karakter, sosiokultural, etnis tionghoa dan etnis melayu.
 PENDAHULUAN
Dewasa ini pemerintah Republik Indonesia sedang giat-giatnya menyusun suatu draf strategi pembentukan karakter bangsa yang berbasis pada keberagaman budaya bangsa yang masing-masing memiliki nilai-nilai yang dapat dikembangkan menjadi bahan pembentuk karakter bangsa. Namun sayangnya dalam strategi tersebut kebudayaan etnis yang bukan asli Indonesia yang sudah berbaur dengan kebudayaan Indonesia (peranakan) belum mendapat kajian yang jelas. Hal ini juga terjadi di ibu kota provinsi Jawa Tengah yaitu Semarang. Menurut Titiek (2011) dalam penelitiannya, penduduk di kota Semarang selain asli orang Jawa juga terdapat juga orang-orang etnis Tionghoa di Pecinan, Eropa di Kota Lama, dan Melayu di Kampung Melayu. Letak perkampungan etnis Tionghoa dengan etnis Melayu saling berdekatan. Walaupun mereka berbeda etnis namun ketika berinteraksi mereka tidak mempermasalahkannya. Mereka hidup berdampingan secara rukun tanpa ada permasalahan yang berkaitan dengan etnis mereka.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, kami mencoba mengangkat topik yang berkaitan dengan interaksi sosial antara etnis Tionghoa dan etnis Melayu untuk menemukan nilai-nilai karakter pada masyarakatnya dan strategi yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai-nilai karakter masyarakat etnis Tionghoa dan Melayu. Untuk menemukan nilai-nilai karakter dalam interaksi masyarakat etnis Tionghoa dan etnis Melayu melalui pendekatan sosiokultural di kota Semarang. Nilai-nilai karakter akan semakin melekat dan tertanam pada diri bangsa Indonesia.
Masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang
Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia  pada umumnya berasal dari   provinsi  Fukien  dan Kwang Tung (Koentjaraningrat, 2002: 354). 
Khusus penghuni kawasan Pecinan  Semarang adalah orang-orang Cina yang berasal dari suku Hokkian, Hokcia, Hinghwa, Hakka atau Khek, Hainan dan lain sebagainya.  Walaupan orang-orang Cina di Semarang terdiri dari berbagai suku, masyarakat Indonesia hanya membedakan orang-orang Cina berdasarkan keaslian etnisitasnya sebagai Cina Totok dan Cina Peranakan. Dalam pandangan masyarakat Indonesia Cina Totok adalah orang-orang Cina yang dilahirkan oleh ayah dan ibu yang berasal dari Cina, dilahirkan di Cina dan melaksanakan tradisi atau kebiasaan-kebiasaan  sesuai dengan tradidi dan kebiasaan dari negeri asalnya. Cina Peranakan adalah orang Cina yang dilahirkan dari perkawinan orang Cina dan perempuan setempat (pribumi) dan mereka sudah tidak terlalu ketat melaksanakan adat dan tradisi dari negara asalnya, bahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka menyesuaikan diri dengan adat, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.
Budaya dan tradisi Cina di kawasan Pecinan walaupun sudah mengalami perubahan tetapi masih terpelihara dengan baik. Hal ini merupakan bentuk ethnosentrisme dari masyarakat Cina yaitu perasaan yang menganggap kebudayaan dan tradisi dari negeri leluhur mereka lebih tinggi dibandingkan dengan kebudayaan lain. Ethnosentrisme masyarakat Cina didasari oleh ajaran Confusius yang berasaskan familinisme, yaitu anggapan bahwa semua orang Cina adalah satu keluarga besar yang berpusat di negeri Cina. Ajaran ini bertujuan untuk menyatukan orang Cina di seluruh dunia dan agar mereka selalu ingat dan berbakti kepada  leluhur dan negara asalnya (Hidayat, 1993: 34).
Sejak dicabutnya Instruksi Presiden No. 14/ 1967 yang membatasi aktivitas yang berkaitan dengan kepercayaan dan budaya masyarakat Cina, maka masyarakat Cina  di Kawasan Pecinan dewasa ini sudah lebih leluasa melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan kepercayaan dan budaya mereka. Sebagai akibat dari pergaulan dan interaksi sosial yang cukup lama antara masyarakat Cina dengan kelompok etnis lain, baik pribumi maupun etnis  dari luar Indonesia, dewasa ini masyarakat Cina di kawasan Pecinan sudah banyak yang menjadi pemeluk agama-agama yang diakui negara seperti Budha, Islam, Kristen /Protestan dan Katolik. Orang-orang Cina di kawasan Pecinan Semarang seperti orang-orang Cina yang ada di daerah-daerah lain di Indonesia, pada umumnya melaksanakan ritual-ritual yang berkaitan dengan pemujaan Budha, Tao dan Confusius.
Falsafah Cofucianisme lebih menekankan pada etika kehidupan yang bersifat duniawi (Koentjaraningrat, 2002: 367). Ajaran Confucianisme merupakan cara pembelajaran menjadi manusia melalui interaksi dengan sesama manusia secara terus menerus.  Pembelajaran menjadi manusia ini mengandung empat dimensi pemahaman yaitu pertama, berkaitan dengan cara menyatukan dan menyelaraskan antara hati dan pikiran dengan tubuh dan jiwa. Kaduna, care menjalin hubungan yang bermanfaat dengan komunitas manusia secara luas, baik dengan keluarga, masyarakat, bangsa dan komunitas global. Ketiga, care menjalin hubungan yang harmonis, bermanfaat dan berkelanjutan dengan alam. Keempat, care menyelaraskan hubungan antara jiwa dan pikiran dengan Tuhan penguasa semesta (Tu  Wei - Ming , 2005: 14)
Interaksi sosial dengan masyarakat dari berbagai etnis yang ada di Indonesia yang telah berlangsung lama menyebabkan pengaruh budaya dari etnis lain masuk ke dalam budaya Cina. Pengaruh budaya Melayu dan budaya Jawa tampak pada budaya Cina yang bersifat material (fisik) dan non material. Berkaitan dengan kegiatan religi, tradisi dan kepercayaan masyarakat Cina tidak mengalami pengaruh yang signifikan dari kepercayaan lain karena masyarakat Cina masih sangat kuat menjalankan aktivitas kepercayaan Tao dan Confusius.   
                                                                                                  
Masyarakat Melayu di Semarang
Kampung melayu Semarang merupakan perkampungan yang dihuni oleh etnis keturunan Arab dan sebagian dari orang Tionghua. Keberagaman ini kemudian yang menjadikan penaman dari Melayu. Saat ini kampung melayu bisa di lihat di sekitar jalan Layur, dimana dijalan tersebut berdiri masjid lama yang disebut dengan Masjid Menara (Koentjaraningrat, 2007 : 441). Karena memang terdapat menara yang berfungsi sebagai tempat adzan. Namun saat ini keberadaan orang-orang Arab dan Tionghua di jalan layur dapat dikatakan hampir tidak ada. Hal utama yang menyebabkan karena adanya aliran air sungai (rob) yang tidak lancar. Sehingga mudah terjadi banjir rob, menjadikan jalanan menjadi kotor sehingga nampak kumuh. Persoalan inilah yang hingga saat ini menjadi masalah utama Pemerintah Kota Semarang yang belum ada titik terang kapan bisa terselesaikan.
Sebagai gambaran sederhana dari kampung melayu adalah keberagaman budaya yang nampak dari bangunan rumah. Bangunan rumah yang disesuaikan dengan kekhasan etnis seperti ornamen kaligrafi bagi masyarakat arab. Sisa bangunan yang bisa dilihat dari kampung melayu di Semarang adalah Masjid Menara.
Suku Melayu terdapat di beberapa negara Asia, seperti di Indonesia yaitu di  Aceh Timur, pesisir timur Sumatera Utara, Riau, Jambi, pesisir Palembang Kalimantan Barat, Thailand bagian Selatan, Malaysia bagian Barat dan Timur, Singapura, Brunei Darussalam.
Suku-suku Melayu yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, diperkirakan sekitar abad ke 17 mulai datang ke Semarang untuk melakukan kegiatan perdagangan. Di Semarang para pendatang suku Melayu ini membentuk perkampungan yang disebut Kampung Melayu. Di Kampung Melayu ini mereka hidup damai berdampingan dengan suku-suku lain, baik suku-suku asli Indonesia seperti suku Banjar, Cirebon, Aceh dan susu-suku dari luar Indonesai seperti Arab, Cina dan Koja. Keragaman etnisitas di Kampung Melayu ini ditunjukkan oleh penamaan kampung-kampung di sana, yaitu antara lain Kampung Banjar, Kampung Cerebonan, Kampung Pencikan, Kampung Peranakan.
Secara umum orang karakteristik orang Melayu dapat digambarkan sebagai berikut : a) Dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat yang berlainan etnis cenderung melakukan interaksi secara damai dan berusaha menghindari konflik. b) Karena budi dan bahasa orang Melayu yang halus, maka dalam menyampaikan hal-hal yang dikhawatirkan bisa menciptakan kesalahpahaman dan salah pengertian, orang Melayu dalam mengemukakan pendapat atau masalah sering menggunakan pantun, syair atau perumpamaan. c) Orang Melayu tidak mau menonjolkan diri, terutama untuk masalah kekayaan dan penghasilan. d)Orang Melayu secara umum merupakan orang yang sangat peka dan halus perasaannya (sentimentil). Hal ini tercermin dari lagu-lagu khas Melayu yang mengharu-biru perasaan. e)Orang Melayu secara umum adalah orang sangat introvert (tertutup) sehingga dalam pergaulan dengan masyarakat dari etnis lain cenderung memerlukan proses yang lama. f)Secara keseluruhan sikap orang Melayu sangat toleran dan berusaha menjalin interaksi yang damai dengan kelompok masyarakat lain. g)Walaupun sikap orang melayu toleran dan cinta damai, tetapi bila harga dirinya direndahkan, mereka dapat berontak dan sering mengakibatkan amuk massa (Koentjaraningrat, 2007 : 441).
Interaksi sosial yang telah berjalan sangat lama antara penduduk suku  Melayu, Cina, Arab dan suku-suku lain yang ada di Indonesia, telah menyebabkan terjadinya akulturasi budaya dari masing-masing suku bangsa ini.
Permasalahan etnis tionghoa dan etnis melayu
Dalam sebuah Diskusi Kebangsaan National Integration Movement (NIM), (9/12/06) di One Earth, Ciawi, Koordinator Jaringan Tionghoa Muda Indonesia, Kristan, mengatakan, “Indonesia adalah Harga Mati karena kita semua (adalah) Orang Indonesia!; Demikian jawabannya secara tegas bila dirinya ditanya dengan pertanyaan : “Are you Chinese?” Pandangan negatif tentang Tionghoa diperparah oleh kebijakan-kebijakan para penguasa Nusantara sejak dari jaman VOC, raja-raja Mataram, Pemerintah Hindia Belanda dan diteruskan sampai kepada pemerintahan Republik Indonesia (Budiman, J. 2010).  Padahal sebelum abad ke-16, pembauran antara penduduk setempat dengan masyarakat etnis tionghoa sudah terjadi dan harmonisasi sangat terasa. Banyak catatan-catatan dari bangsa Portugis, Inggris, Belanda dan China yang pernah menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara mengkonfirmasikan hal itu. Jadi masih ada rasa kekhawatiran dari etnis tionghoa yang merasa tidak diterima di lingkungan masyarakat Indonesia. Sedangkan yang menjadi masalah di lingkungan etnis melayu adalah karena sedikitnya perbedaan cara pengucapan antara bahasa Melayu dengan Indonesia. Itu mengakibatkan banyak terjadi pengakuan-pengakuan antar Negara yang menggunakan kedua Bahasa tersebut. Sebagai contoh kasus yang terjadi belakangan ini antara bahasa etnis Melayu dengan Indonesia yaitu penjiplakan lagu-lagu buatan Negara Indonesia oleh Negara tetangga. Itu mengakibakan perselisihan antara kedua Negara. Tetapi dikeadaan sekarang ini berbagai macam etnis yang ada di Indonesia diterima dengan baik oleh warga asli Indonesia, dikarenakan saat ini setiap Negara lagi gencar-gencarnya melakukan Naturalisasi. Baik yang secara bebas, ataupun karena kepentingan Negara itu sendiri (Titiek. 2011).
Nilai-nilai Karakter Bangsa Indonesia
Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.
Pertama, Agama. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
Kedua, Pancasila. Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilainilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
Ketiga, Budaya. Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Empat, Tujuan Pendidikan Nasional. Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia (Morissan, 2009).
Pendekatan Sosiokultural
Cara pandang sosiokultural menekankan gagasan bahwa realitas dibangun melalui suatu proses interaksi yang terjadi dalam kelompok, masyarakat dan budaya. Sosiokultural lebih tertarik untuk mempelajari pada cara bagaimana masyarakat secara bersama-sama menciptakan realitas dari kelompok sosial, organisasi dan budaya mereka. Sosiokultural digunakan dalam topik-topik tentang individu, percakapan, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat. Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi sosiokoltural dalam teori belajar dan pembelajaran yaitu genetic law of development, zona of proximal development dan mediasi :
a.       Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental dan intrapsikologis atau intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Sedangkan fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut.
b.      Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of proximal development) ke dalam dua tingkat:
1) Tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri (intramental).
2) Tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten (intermental).
Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada dalam proses pematangan.
c.Mediasi
Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan psychologis tools atau alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Ada dua jenis mediasi,
Pertama, Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk melakukan self- regulation yang meliputi: self planning, self monitoring, self checking, dan self evaluating. Mediasi metakognitif ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi.
Kedua, Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya) (Anonim, 2011).
Simpulan
Kota semarang mempunyai berbagai macam etnis diantaranya terdapat etnis Tionghoa dan etnis Melayu. Kedua etnis tesebut mampu berinteraksi dengan baik, tanpa membedakan latar belakang mereka masing-masing. Saat kedua etnis tersebut melakukan interaksi sosial terdapat bebapa nilai-nilai karakter yang dapat diambil dan dipelajari pada kehidupan masa kini. Contoh nilai-nilai karakter yang dapat diambil adalah kita belajar dan hidup saling menghormati di dalam masyarakat luas. Dengan keadaan yang terjadi antara etnis Tionghoa dan etnis Melayu  di Kota Semarang tersebut kita juga bisa belajar dengan pendekatan- pendekatan dari sudut pandang kebudayaan etnis tersebut. Seperti diterapkan di Negara kita yaitu Pluralisme atau pemahaman tentang keanekaragaman dan Bhineka Tuggal Ika yang berarti berbeda beda tetapi tetap satu jua.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman,Amen. 1978. Semarang  Riwajatmoe Doeloe. Semarang : Penerbit Tanjung Sari.
Dawson, Raymond. 1992. Kong Hu Cu. Penata Budaya Karajaan Langit . Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Gondomono. 1996. Membanting Tulang Menyembah Arwah : Kehidupan kekotaan Masyarakat Cina. Jakarta  (Depok) : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Hartono, Chris. 1974. Ke-Tionghoaan dan Kekristenan. Jakarta : Penerbit BPK Gunung Mulia
Hidayat, Z.M.1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia. Bandung :        Penerbit Tarsito
Koentjaraningrat. 2007. Lahirnya Konsesi Asimilasi. Jakarta : Penerbit Yayasan Tunas Bangsa
Koentjaraningrat, 2002. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit : Djambatan
Suliyati,Titiek. 2011. Dinamika Kawasan Permukiman Etnis di Semarang. Lapora hasil penelitian. Semarang : Kampung  Melayu dan Pecinan.
Tan, Mely G.1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu Masalah  Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta  : PT Gramedia.
Tu Wei-Ming. 2005.Etika Konfusianisme. Terjemahan  Zubair. Jakarta : Penerbit Teraju PT Mizan Publika.
Referensi Media Massa
Anonim. (2011). “Teori Belajar Sosiokultural”. Di unduh dari (http://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-kultural/), pada 8 November 2013
Budiman, J. (2010). “Permasalahan Etnis Tionghoa”. Di unduh dari
(http://politik.kompasiana.com/2010/05/16/permasalahan-etnis-tionghoa-142062.html) pada 8 november 2013
Morissan, M.A.  (2009).”Teori Komunikasi dan Paradigma penelitian, serta Tinjauan Terhadap Analisa Wacana dan Bingkai”. Di unduh dari (http://teorikomunikasi-morissan.blogspot.com/2009/01/teori-komunikasi-dan-paradigma.html)  pada 8 November 2013
0 Komentar untuk "MENEMUKAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA DAN MELAYU DI KOTA SEMARANG"

Back To Top